Sifat orang-orang Madura yang khas mendapat perhatian lagi dari media
internasional. Kali ini Majalah Amerika Time, edisi istimewa 21-26
Agustus, menurunkan laporan khusus keberadaan orang-orang Madura di
Surabaya. Tulisan tentang orang-orang Madura tersebut merupakan bagian
dari laporan tentang kelompok-kelompok masyarakat khas di beberapa
negara Asia.
Dalam laporan berjudul Bound To Wonder,
koresponden Anthony Spaeth, melukiskan orang-orang Madura adalah para
pekerja ulet dan setia. Mereka dengan senang hati melakukan beragam
pekerjaan kasar yang tak tidak disukai orang-orang Jawa.
Mengawali tulisannya, Spaeth melukiskan situasi Pelabuhan Tanjung
Perak. “Bila Anda berdiri di pelabuhan Surabaya, pelabuhan terkenal dan
kota kedua terbesar Indonesia, Anda akan melihat Pulau Madura hanya 4 km
di seberang laut,” tulisnya.
Sudah sepuluh tahun terakhir ini, tulis Spaeth, ada rencana untuk
menghubungkan kota ini dengan pulau itu dengan jembatan, tetapi
pendanaan tak pernah keluar dan satu-satunya kemajuan adalah beberapa
tiang beton premature yang sekarang berdiri sia-sia di pantai. (Sekarang sudah jadi.red).
Adanya sebuah jembatan yang menghubungkan Surabaya dan Madura akan
sangat bermanfaat. Pasalnya, ribuan orang hilir mudik menyeberang Selat
Madura dengan feri, bersama hewan ternak, barang-barang, mobil, dan bus.
Seorang pekerja, Hasmat Nabiri (64), mengatakan kepada Time, dirinya
sudah 13 tahun pulang balik Surabaya-Madura setiap hari. Alasan bagi
eksodus orang-orang Madura itu sederhana. “Saya datang untuk bekerja,”
kata Nabiri.
Madura dilukiskan majalah itu sebagai home to a unique language and culture that sets it native apart from the people of Indonesia’s other islands.
Meskipun demikian, pulau itu hanya dihuni oleh sebagian kecil
masyarakatnya sendiri. Dari sekitar 10 juta orang Madura, 6 juta orang
tersebar secara tetap di berbagai tempat. Lainnya, seperti Nabiri,
menghabiskan banyak waktunya untuk pulang balik dengan feri ke Surabaya.
“Ini menjadikan orang-orang Madura sebagai etnis di Indonesia yang
paling banyak mengembara karena masalah ekonomi.
Seperempat Penduduk
Tempat orang-orang Madura di Surabaya digambarkan Anthony Spaeth
dengan menarik. Sebagai kota yang sibuk, penduduk Surabaya beragam: para
birokrat Jawa, para pedagang Cina, bahkan sekelompok kecil masyarakat
Arab keturunan para pedagang yang mengembara. Bila seseorang
memperhatikan lebih seksama, katanya, dia akan tahu orang-orang Madura
dan pekerjaannya berada di bagian terbawah lapangan kerja. Jumlah mereka
sekitar 800.000 orang, yang berarti sekitar seperempat penduduk
Surabaya.
Mereka berjualan rokok eceran, bekerja pada germo, mengumpulkan logam
rongsokan. Dan celuritnya yang menakutkan, help the city’s underworld
run smoothly. “Orang-orang Madura melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
tidak diinginkan orang-orang Jawa,” kata Hamat Mataji, salah satu tokoh
paling kaya di masyarakat Madura di Surabaya.
Majalah Time menyebutkan, Mataji datang ke Surabaya 25 tahun lalu
dalam keadaan miskin. Ia bekerja menggali parit, menarik becak dan
membuat vulkanisir ban. Setelah punya uang cukup, ia membeli tanah
seluas 3.000 m2 dan kini menjadi pusat jual beli logam-logam bekas di
Surabaya.
Sekarang, Mataji (50), menenteng handphone. Bila tersenyum, di
mulutnya terlihat sederetan giginya yang terbuat dari emas putih. Tetapi
dia masih sibuk bekerja di tempat penampungan besi bekasnya, meneken
kuitansi-kuitansi dari para pengumpul besi bekas, banyak di antaranya
juga orang Madura. Tamu-tamu Mataji pun beragam, dari politisi setempat
hingga para anggota polisi. “Setiap orang sekarang ini meminta
pinjaman,” katanya.
Mataji juga mengatakan, Surabaya telah banyak berubah dalam 25 tahun
terakhir. Orang-orang Madura telah tersingkir dari bisnis judi dan
pelacuran. Tetapi reputasi mereka sebagai orang-orang yang memiliki
kebanggaan dan keras tidak menurun. “Orang-orang Madura lebih memilih
mencuri daripada mengemis,” katanya.
Anthony Spaeth menunjuk contoh tokoh bernama Sapan (42). Laki-laki
Madura ini memimpin sebuah geng di dunia hitam Surabaya hingga awal
1980-an, saat banyak residivis terbunuh secara misterius. Sapan mengaku
telah membunuh 20 orang, sebagian besar karena persoalan menyangkut
wanita. “Kami tidak takut sama sekali,” katanya bangga pada Time. “Kalau
waktunya mati, kita akan mati.”
Sapan akhirnya insaf setelah bertahun-tahun hidupnya dihabiskan di
penjara, dan pulang ke kampung halamannya di Madura dan bekerja sebagai
petani. Tetapi cerita tentang Sapan itu cocok dengan sifat orang Madura
sebagai pemberani, dengan nilai kehormatan yang disebut carok. Siap
untuk main kekerasan.
“Perlakukanlah mereka dengan baik dan mereka akan balik memperlakukan
Anda lebih baik,” kata Fachrul Rozi, seorang dokter asal Madura.
“Tetapi bila Anda menghina mereka, maka mereka akan lebih merendahkan
Anda,” kata Dr Dede Oetomo, pakar antropologi dari Universitas
Airlangga menjelaskan pada majalah itu. “Bagi orang-orang Madura, tipis
sekali batasnya antara gangsterisme dengan normalitas.
Tetapi kesetiaan orang-orang Madura mendapat pujian. Sebagian besar
penjaga keamanan di Surabaya adalah orang-orang Madura dan mereka ini
dikenal sebagai orang-orang yang siap melindungi semua yang dijaganya
dengan loyalitas sangat tinggi. Nazirman, seorang pemilik toko yang
dijaga orang-orang Madura, mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang
berani dan punya kemauan kerja”.
Kawasan Dolly
Anthony Spaeth kemudian melukiskan bagian dari kehidupan di kawasan pelacuran Dolly.
Ronny, seorang Madura, telah bekerja di Wisma Jaya Indah selama 25 tahun. Itulah satu-satunya pekerjaan yang dia jalani. Ronny dulu biasa pergi ke desa-desa untuk mencari gadis-gadis untuk wismanya. Tetapi akhir-akhir ini dia lebih banyak bersantai di halaman depan rumah pelacuran. “Hanya menjaga keamanan dan mempersilakan masuk kaum laki-laki,” katanya.
Ronny, seorang Madura, telah bekerja di Wisma Jaya Indah selama 25 tahun. Itulah satu-satunya pekerjaan yang dia jalani. Ronny dulu biasa pergi ke desa-desa untuk mencari gadis-gadis untuk wismanya. Tetapi akhir-akhir ini dia lebih banyak bersantai di halaman depan rumah pelacuran. “Hanya menjaga keamanan dan mempersilakan masuk kaum laki-laki,” katanya.
Saat Time berada di Dolly, suasana sepi. Sekelompok orang Korea
ragu-ragu untuk masuk. “Hanya Rp 50.000/jam,” kata Ronny kepada mereka.
Salah satu orang Korea itu masuk, dan lainnya pun menyusul.
Di Gresik, orang-orang Madura juga banyak dijumpai. Time melukiskan
bagaimana sekitar 20 orang Madura bekerja keras me-mretheli sebuah kapal
bekas milik Angkatan Laut yang terdampar di pantai yang dangkal. Di
tengah air yang berminyak dan berlumpur, mereka memotong-motong kapal
itu dengan las dan gergaji raksasa. “Tak ada yang bakal tersisa setelah
kami selesaikan pekerjaan ini,” kata Syaful Bakri, mandornya, dengan
bangga.
Potongan-potongan besi itu kemudian akan beredar ke seluruh penjuru
Indonesia berkat jaringan luas para pedagang Madura. Ini baik bagi para
pembeli besi bekas. Proses ini menyingkirkan makelar yang biasanya
mengambil keuntungan besar, tulis Time.
Jaringan orang-orang Madura itu juga membantu para pendatang baru
untuk mendapatkan pekerjaan di Madura. Apakah itu menjual buah atau
rokok di jalan-jalan, ataupun mengumpulkan botol plastik bekas dan ban
bekas. Masyarakat ini pusatnya di bagian utara kota, di mana orang-orang
Madura hidup di gubuk-gubuk kecil darurat.
“Prinsip mereka adalah koeksistensi, bukan asimilasi,” kata Dr Daniel Sparringa, pakar sosiologi dari Unair. (Time, dph).(....).