Madura yang terkenal sebagai Pulau Garam, sebenarnya tak jauh dari Surabaya. Namun kecantikannya seolah terlupakan. Padahal jembatan Suramadu pun sudah cukup indah membentang menghubungkan Surabaya–Madura. Mungkin karena cuacanya yang kesannya selalu panas membakar kulit, mungkin juga kesan sifat penduduknya yang terkenal keras, atau mungkin memang menganggap pulau itu tidak ada yang bisa dilihat, sehingga malas ke sana.
Namun semuanya salah besar. Pulau Madura itu bagus
banget. Hawanya memang panas, sama seperti Surabaya, namun di dataran
tingginya tetap sejuk. Penduduknya juga ramah, kulinernya jempolan,
tempat wisata dan budayanya ciamik. There’s something hidden inside
Madura….
Bersama komunitas Jejak Petjinan, saya mengikuti acara
“Melantjong Petjinan Madoera”. Berangkat Sabtu pagi, semua berkumpul di
kota tua Surabaya. Satu bus mini siap mengantar. Acara ini dipandu oleh
Lintu Tulistyantoro, dosen UK Petra sekaligus pakar tentang Madura.
Dimulai
dari Jembatan Suramadu, perhentian pertama di sentra batik Tanjung
Bumi. Motifnya banyak dipengaruhi oleh motif dari China, seperti motif
burung phoenix (burung dalam mitologi China), kupu-kupu (dari kisah Sam
Pek Eng Thai), dll. Percampuran budaya China memberi pengaruh dan
bercampur dengan kekhasan batik Madura berwarna ngejreng. Warna terang
itu dipengaruhi oleh kondisi alam pulau yang cenderung gersang, sehingga
menampilkan warna-warni terang, agar supaya tidak menjadi semakin
suram.
Sumber Cemara Udang
Setelah makan siang di
Pasongsongan, rombongan berangkat ke Pantai Lombang. Mendekati sunset,
Pantai Lombang dengan hamparan pasir putih dan gugusan cemara udang yang
tumbuh di area tepi pantai. Di pantai berderet warung rujak dan kelapa
muda.
Pantai Lombang dikenal dengan cemara udang yang tumbuh di
pantai. Kabarnya itu adalah satu-satunya di Indonesia. Konon, di dunia
hanya ada di China dan Madura. Mungkin cemara udang di Madura adalah
hasil sebaran dari pedagang China yang sempat berlabuh di pesisir utara
ini.
Rombongan menginap di Nur Family Hotel, Sumenep. Tempatnya
cukup nyaman, dengan harga yang tidak terlalu mahal. Sumenep relatif
sejuk karena di dataran tinggi. Istirahat terasa nikmat.
Paginya
giliran menyusuri wilayah selatan Madura dimulai dari Asta Tinggi,
tempat makam raja-raja. Asta Tinggi terbagi dalam tiga lokasi. Salah
satu lokasi masih kental dengan bangunan kolonial dengan sentuhan China.
Lokasi lainnya adalah saat agama Islam sudah mulai masuk, sehingga
tulisan-tulisan Arab mulai tampak.
Berikutnya giliran ke Masjid
Jami’ di tengah Sumenep. Masjid ini dibangun oleh arsitek Lauw Piango.
Ia merupakan cucu Lauw Khun Thin, generasi pertama yang menetap di
Sumenep. Gaya arsitekturnya merupakan paduan arsitektur Arab, Persia,
Jawa, India, dan China yang merupakan paduan yang menarik, membentuk
bangunan yang sangat istimewa.
Selanjutnya adalah Museum dan Keraton Sumenep yang posisinya berseberangan. Ada local guide
yang ada di sana, menjelaskan semua benda peninggalan termasuk kereta
raja yang masih utuh. Di Keraton Sumenep, terdapat pemandian di Taman
Sare yang dulunya adalah tempat mandi putri-putri raja. Terik siang pun
tak terasa karena setiap tempat begitu menarik untuk diketahui. Makan
siang kali ini berada di sekitar kolam pemandian.
Perjalanan
dilanjutkan menuju vihara Avalokitesvara di Pamekasan. Klenteng ini unik
karena ada musalanya di dalam. Ada pula pura dengan replika Borobudur.
Berpose di lokasi ini hasilnya menakjubkan karena seolah tampak di luar
negeri.
Tidak menyangka Madura menyimpan kekayaan alam dan
budaya yang begitu cantik. Dua hari belum puas rasanya mengubek Madura.
Jadi… cobalah sesekali mengintip kecantikan yang tersembunyi di Madura.(....)
|
Langganan:
Posting Komentar (Atom)