Sekolah Dasar Negeri (SDN) Mandung I di Kecamatan Kokop Kabupaten Bangkalan hanya memiliki dua kelas untuk proses belajar mengajar sejak 2006. Dua dari empat kelas yang ada, ambruk diterjang puting beliung dan hingga kini belum diperbaiki.
Dampaknya, 150 siswa harus bergantian belajar selama empat tahun. Seorang guru honorer, Sahwan, mengatakan, para siswa akhirnya belajar dalam tiga gelombang. “Saya tidak yakin mereka mampu menyerap materi pelajaran dengan sempurna,” ujarnya, Jumat (23/4).
Kegalauan Sahwan memang beralasan. Dari 150 siswa yang terbagi menjadi enam kelas, hanya mendapatkan hak belajar selama satu jam dengan fasilitas hanya menggunakan dua ruang kelas. Pada jam pertama, 07.00 hingga pukul 08.00 WIB diperuntukkan kelas 1 dan kelas 2. Untuk kelas 3 dan 4, pukul 08.00 hingga pukul 09.00 WIB. Sedangkan pada pukul 09.00 hingga pukul 10.00, untuk kelas 5 dan 6. Selepas jam 10.00 WIB hingga siang, para siswa dibiarkan bermain sendiri.
Yang membuat hati kian terenyuh ketika Sahwan menceritakan dirinya sering mengajar 150 siswa sendirian. Sahwan mengatakan, kepala sekolah (Moh Rasyid) dan guru lain jarang hadir. “Ada tujuh tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah. Mereka jarang datang,” keluhnya.
Hal senada disampaikan salah seorang wali murid SDN Mandung, H Fauzi Ajid. Menurut ayah siswa kelas 6, Mondir, para wali murid tidak mendapatkan penjelasan memuaskan terkait jarang masuknya para guru. “Yang menjadi korban adalah para siswa,” katanya.
Dalam demo tersebut, Mondir bersama teman-temannya mengusung spanduk bertuliskan Kami butuh gedung yang layak dan guru yang aktif. Ia menuturkan bahwa dirinya beserta siswa lain mempunyai harapan sama, yakni agar bisa belajar dengan nyaman. “Kami hanya minta pembangunan gedung yang layak seperti sekolah lain, dan guru-guru yang peduli terhadap kami,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang tidak begitu lancar.
Pada kesempatan sama, tukang kebun, sekaligus penjaga sekolah SDN Mandung I Abdus Syukur mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mencegah para siswa melakukan unjuk rasa. “Ya bagaimana lagi. Para siswa juga didampingi para orangtuanya,” katanya.
Adapun Sahwan menjelaskan bahwa ambruknya dua kelas tersebut pernah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan dengan harapan sesegera mungkin dibangun gedung baru. “Namun, hingga sekarang tidak pernah terealisasi,” ujarnya, buru-buru menjelaskan, pernyataannya itu tanpa bermaksud mendahului kebijakan kepala sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Bangkalan, Setijabudi, menjelaskan bahwa berkas permohonan pembangunan gedung SDN Mandung I sudah diajukan ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) pada tahun 2009 lalu. “Karena sudah diajukan ke BPBN, SD tersebut tidak dimasukkan dalam daftar sekolah penerima DAK (dana alokasi khusus) pada 2009 lalu,” jelasnya.
Ia menjelaskan, sekolah yang sudah diajukan ke BPBN tidak akan mendapatkan dana DAK. “Syaratnya harus tidak dalam keadaan mendapatkan bantuan dana dari manapun, termasuk DAK,” katanya. Sedangkan pada DAK tahun 2010, masih menurut Setijabudi, sasaran bantuan DAK tidak lagi pada pembangunan fisik. Melainkan lebih fokus pada perbaikan mutu, seperti pengadaan buku dan perpustakaan. “Tetapi, dengan kondisi ini, kami akan berusaha mencari bantuan lain,” pungkasnya.(Surya)
Dampaknya, 150 siswa harus bergantian belajar selama empat tahun. Seorang guru honorer, Sahwan, mengatakan, para siswa akhirnya belajar dalam tiga gelombang. “Saya tidak yakin mereka mampu menyerap materi pelajaran dengan sempurna,” ujarnya, Jumat (23/4).
Kegalauan Sahwan memang beralasan. Dari 150 siswa yang terbagi menjadi enam kelas, hanya mendapatkan hak belajar selama satu jam dengan fasilitas hanya menggunakan dua ruang kelas. Pada jam pertama, 07.00 hingga pukul 08.00 WIB diperuntukkan kelas 1 dan kelas 2. Untuk kelas 3 dan 4, pukul 08.00 hingga pukul 09.00 WIB. Sedangkan pada pukul 09.00 hingga pukul 10.00, untuk kelas 5 dan 6. Selepas jam 10.00 WIB hingga siang, para siswa dibiarkan bermain sendiri.
Yang membuat hati kian terenyuh ketika Sahwan menceritakan dirinya sering mengajar 150 siswa sendirian. Sahwan mengatakan, kepala sekolah (Moh Rasyid) dan guru lain jarang hadir. “Ada tujuh tenaga pengajar, termasuk kepala sekolah. Mereka jarang datang,” keluhnya.
Hal senada disampaikan salah seorang wali murid SDN Mandung, H Fauzi Ajid. Menurut ayah siswa kelas 6, Mondir, para wali murid tidak mendapatkan penjelasan memuaskan terkait jarang masuknya para guru. “Yang menjadi korban adalah para siswa,” katanya.
Dalam demo tersebut, Mondir bersama teman-temannya mengusung spanduk bertuliskan Kami butuh gedung yang layak dan guru yang aktif. Ia menuturkan bahwa dirinya beserta siswa lain mempunyai harapan sama, yakni agar bisa belajar dengan nyaman. “Kami hanya minta pembangunan gedung yang layak seperti sekolah lain, dan guru-guru yang peduli terhadap kami,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang tidak begitu lancar.
Pada kesempatan sama, tukang kebun, sekaligus penjaga sekolah SDN Mandung I Abdus Syukur mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mencegah para siswa melakukan unjuk rasa. “Ya bagaimana lagi. Para siswa juga didampingi para orangtuanya,” katanya.
Adapun Sahwan menjelaskan bahwa ambruknya dua kelas tersebut pernah dilaporkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten Bangkalan dengan harapan sesegera mungkin dibangun gedung baru. “Namun, hingga sekarang tidak pernah terealisasi,” ujarnya, buru-buru menjelaskan, pernyataannya itu tanpa bermaksud mendahului kebijakan kepala sekolah.
Kepala Dinas Pendidikan Bangkalan, Setijabudi, menjelaskan bahwa berkas permohonan pembangunan gedung SDN Mandung I sudah diajukan ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN) pada tahun 2009 lalu. “Karena sudah diajukan ke BPBN, SD tersebut tidak dimasukkan dalam daftar sekolah penerima DAK (dana alokasi khusus) pada 2009 lalu,” jelasnya.
Ia menjelaskan, sekolah yang sudah diajukan ke BPBN tidak akan mendapatkan dana DAK. “Syaratnya harus tidak dalam keadaan mendapatkan bantuan dana dari manapun, termasuk DAK,” katanya. Sedangkan pada DAK tahun 2010, masih menurut Setijabudi, sasaran bantuan DAK tidak lagi pada pembangunan fisik. Melainkan lebih fokus pada perbaikan mutu, seperti pengadaan buku dan perpustakaan. “Tetapi, dengan kondisi ini, kami akan berusaha mencari bantuan lain,” pungkasnya.(Surya)