Terdapat tradisi yang unik, mengesankan, dan
agak sulit kita temukan di tempat selain di Madura atau paling tidak di
masyarakat Madura. Tradisi tersebut adalah budaya ater-ater. Ater-ater ini
adalah sebentuk tradisi masyarakat Madura terutama di pedalaman dan grass root
yang paling banyak ditemui ketika ada hajatan, selame tan dalam segala macamnya,
hari raya keagama an, tasyakuran, dan lain sebaginya.
Kegiatan ater-ater ini diaplikasikan dengan
menghantarkan barang (terutama makanan) pada sanak keluarga atau tetangga yang
ada di sekitar. Namun tidak jarang tradisi ini juga dilaku kan dan tujukan pada
sanak saudara yang jauh.
Bagi kalangan masyarakat Madura, ater-ater
merupakan tradisi yang telah turun-temurun. Hal ini dilakukan untuk menyambung
dan mempererat tali silaturrahmi antar keluarga atau tetangga.
Barang yang dibawa sebagai oleh-oleh bagi yang
dikunjungi berupa makanan yang siap saji, seperti nasi putih berserta lauk
daging sapi atau kambing, lengkap dengan kue dengan berbagai macam jenisnya.
Jajanan, nasi, dan lauk pauk tersebut disimpan dalam wadah khusus, sema cam
termos untuk piknik. Lalu dijinjing dibawa ke tempat saudara atau tetangga yang
akan dikunjungi.
Makanan siap saji dan tidak tahan lama terse
but biasa dibawa pada saudara atau tetangga dekat. Jika yang hendak dikunjungi
atau diater-ater adalah keluarga yang letaknya jauh, barang bawaannya biasanya
barang yang tidak mudah basi tapi unik. Hanya bisa didapat di tempat-tempat
tertentu.
Sebagai salah satu dari elemen budaya ma
syarakat Madura, ater-ater dapat dijadikan se buah teropong atau sekeping cermin
yang dapat menggambarkan identitas dan karakter masya rakat Madura.
Namun tradisi ini sering luput dari perhatian
para peneliti. Mungkin saja tradisi ini dianggap cukup sepele dan biasa-biasa
saja. Padahal, ater-ater ini adalah salah satu kegiatan atau ritual budaya yang
membuat banyak orang menyimpulkan bahwa masyarakat Madura adalah ma syarakat
yang ramah, dermawan, komunikatif, baik hati, dan memiliki solidaritas yang
tinggi pada sesama.
Pada momen hari raya keagamaan seperti lebaran,
ater-ater ini menemukan momennya yang cukup signifikan. Hampir setiap orang
masya rakat Madura melakukannya. Mereka tidak seke dar pergi bertamu untuk
bersalam-salaman dan bermaaf-maafan. Mereka tidak lupa membawa sesuatu yang
mereka makan di rumahnya.
Pada momen lebaran, ater-ater biasanya
didominasi oleh mereka yang sedang bertuna ngan. Rasanya tidak pas jika
ater-ater pada sa nak saudara di hari raya, jika tidak bersama-sa ma tunangan.
Tidak jarang, budaya ater-ater ini dijadikan wahana bagi seseorang untuk memper
kenalkan tunangannya pada tetangga atau ke luarganya yang lain.
Akulturasi Budaya
Tradisi yang telah turun menurun ini lahir dari
relung kebudayaan masyarakat Madura yang cukup dalam. Jika bertemu dengan
sesepuh Madura, lalu ditanya tentang ater-ater, kurang lebih mereka akan
menjawab bahwa hal itu dilakukan agar saudara atau tetangganya dapat hidup dan
merasakan nikmatnya makanan seperti yang telah dia makan. Terlebih, mereka
terkadang akan menja wab agar tidak punya hutang rasa. Bagi mereka, ketika
tetangga atau sanak saudara mencium aroma masakan dari dapur kita berarti kita
telah memiliki “hutang” pada mereka hingga kita dapat meng hantarkan sebagian
makanan tersebut pada mereka.
Hal ini menarik dicermati dan dimaknai. Dengan
demikian budaya ater-ater merupakan budaya yang menunjukkan rasa empati,
simpati, sekaligus menarik seseorang agar terhindar dari mental individualistis.
la menunjukkan rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang cukup tinggi terhadap
sesama.
Filosofi-filosofi serupa akan mudah kita
temukan dalam ajaran Islam, terutama dalam tradi si sufi. Ater-ater secara
tersirat sebenamya juga diajarkan Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis, Nabi
Muhamad menuturkan, “Rayakanlah pesta perkawinan, umumkanlah walaupun hanya
dengan seekor kambing, dan perbanyaklah kuah nya agar semua sanak famili dan
tetanggamu juga dapat merasakan kebahagiaan.”
Bukan tidak mungkin tradisi ater-ater di kala
ngan masyarakat Madura ini merupakan budaya yang ditransmisikan dari budaya dan
ajaran Islam. Pada sekitar abad ke-15, Islam masuk ke Madura (Rifa’i, 2007).
Masuknya agama Islam di Madura banyak membuat perubahan budaya keberaga maan
yang bersifat sinkretis. Hal ini bisa dilihat masih banyaknya masyarakat Madura
yang masih suka membakar kemenyan pada malam Jumat. Ini terjadi tidak hanya di
pedesaan, tapi juga di pedesaan. Sudah mafhum, kebiasaan yang demikian merupakan
warisan agama Budha dan Hindu.
Dinamisasi pola keberagamaan juga meme ngaruhi
banyak hal dari sisi kehidupan orang Ma dura. Seperti, nama yang diberikan
kepada anaknya. Yang asalnya orang Madura sering memberi nama anaknya Bhunkot,
Kaddhu’, Bengngug, dan seterusnya, pada tahap setelah masuknya Islam berubah
menjadi Islami atau kearab-araban (Rifa’i, 2007). Tradisi ater-ater bisa jadi
masuk melalui transmisi ajaran dan nilai-nilai Islam sebagaimana nama-nama
tersebut.
Pada saat ini, tradisi ater-ater masih saja
berlangsung, meskipun gaungnya tak sedahsyat yang sebelumnya. Siapa pun
bertanggungjawab menja ga kelestariannya untuk membendung arus globalisasi yang
menggiring pada paradigma mental libe ralisme dan individualisme. Merebaknya
alat komunikasi seperti handphone di seluruh pelosok desa Madura membuat
sebagian masyarakat merasa tidak perlu melakukan ater-ater kalau hanya hendak
berkomunikasi dengan tetangga atau sanak saudara. Mereka cukup SMS.
Konservasi tradisi ater-ater ini dapat pula
berarti meminimalisasi dampak buruk dari dinamika proses modernisasi yang
semakin tidak peka terha dap nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, tradisi ater-ater
merupakan simbol solidaritas, kepekaan, kepedulian, dan kesetiakawanan.(....)