Kilas balik sekitar lima tahun lalu, 15 Agustus 2005, setelah Aceh dilanda prahara konflik bersenjata dan bencana tsunami, jutaan warga berkumpul menyambut tibanya era baru di tanah rencong.
Jutaan warga menyambut suka cita, karena anak bangsa mulai membenamkan nafsu serta berupaya bangkit bersama-sama untuk membangun “negeri” yang hancur akibat perang dan bencana alam, di bawah panji-panji Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Aceh kembali ke pangkuan ibu pertiwi, NKRI” setelah putra-putra terbaik bangsa melapangkan dadanya untuk duduk satu meja, menghilangkan perbedaan dan membicarakan masa depan yang terbaik bagi Aceh dan nusantara ini di Helsinki, Finlandia.
Peristiwa bersejarah itu tanpa terasa telah lima tahun berlalu. Aceh sedang bangkit, bangunan di daerah pesisir yang sebelumnya hancur dan rata dengan tanah diterjang tsunami 26 Desember 2004 kini telah berganti dengan bangunan permanen.
Namun, lima tahun perdamaian pascakonflik dan bencana tsunami masih ada pihak yang mengkhawatirkan situasi Aceh akan ternoda jika pemerintah tidak berupaya meningkatkan kesejahteraan seperti yang diharapkan masyarakat di provinsi itu.
Anggota Komisi III DPR M Nasir Djamil menilai proses perdamaian Aceh pascapenandatanganan MoU Helsinki itu bisa ternoda jika pembangunan perekonomian di provinsi itu berjalan lamban.
“Kalau pembangunan perekonomian melambat, maka saya khawatir tingkat kriminalitas di Aceh akan sejajar dengan daerah lain dan kondisi itu tentunya dapat menodai atau mengGanggu proses perdamaian di wilayah ini,” katanya.
MoU Helsinki ditandatangani Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai komitmen bersama mengakhiri konflik bersenjata puluhan tahun di provinsi itu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpendapat untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian maka Pemerintah Aceh tidak hanya mengandalkan sumber pendanaan dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA) semata.
“Karena pergerakan ekonomi itu tidak hanya bisa mengandalkan APBA semata, tapi harus Pemerintah Aceh harus terus mendorong sektor ril dan investasi swasta. Tapi, kenyataannya saat ini keterlibatan swasta hanya sebatas MoU, sedangkan realisasi dan implementasinya di lapangan sangat kecil,” katanya menambahkan.
Selain itu, ia menilai tata pemerintahan duet Irwandi-Muhammad Nazar (gubernur/wakil gubernur) juga tidak fokus, sehingga berpengaruh pada lambannya pertumbuhan perekonomian di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.
“Sebab perdamaian itu hanya sebagai ‘pintu masuk’ untuk mengelola pembangunan Aceh tanpa konflik,” katanya menjelaskan.
Akan tetapi, ujarnya, tingkat kemiskinan di Aceh saat ini tidak mengalami penurunan seperti diharapkan dalam beberapa tahun terakhir. M Nasir Djamil yang juga Ketua tim Forum bersama (Forbes) anggota DPR-DPD asal Aceh itu mengharapkan lima tahun penandatanganan MoU Helsinki dapat dijadikan sebagai momentum Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi kebijakan agar ke depan lebih fokus dan baik bagi kepentingan percepatan kemajuan Aceh.
Jangan ulangi kesalahan
Wakil gubernur (Wagub) Aceh Muhammad Nazar berharap Jakarta tidak mengulangi kesalahan masa lalu dalam menanggani masalah Aceh pascakonflik bersenjata setelah penandatanganan MoU antara Pemerintah dengan pihak GAM.
“Konflik dahulu penyebabnya karena masyarakat Aceh tidak mau dibohongi dan dimarginalkan. Perlawanan bersenjata di Aceh muncul setelah gagalnya penanganan pascakonflik Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII),” katanya.
Karena itu pusat harus belajar dari masa lalu dalam menangani dan mengurus Aceh. “Tidak boleh main main karena dapat merangsang masyarakat di Aceh berpikir tidak baik terhadap pusat sebagai akibat prilaku di berbagai kementerian dan lembaga negara terhadap Aceh,” katanya menambahkan.
Saat ini, Wagub menyatakan bahwa masyarakat bersama-sama Pemerintah Aceh, TNI dan Polri serta mantan anggota GAM dan aktivis sipil lainnya sedang berupaya membangun rekonsiliasi menyeluruh antara sesama masyarakat lokal dan daerah dengan pusat.
“Tetapi nampaknya masih ada komponen pemerintah di Jakarta yang tidak mengerti dengan kebutuhan Aceh sesuai Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),” katanya menjelaskan.
Seharusnya, Muhammad Nazar menyatakan, seorang menteri atau para menteri kabinet bisa mengerti dan memahami bahwa UUPA itu adalah UU RI tentang Aceh, dan diakui secara nasional serta harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
“Sepertinya di Jakarta masih ada yang tidak mau belajar dari kegagalan perjanjian Lamteh dalam penyelesaian konflik DI TII. Akhirnya perdamaian semu karena waktu itu pusat suka mengingkari sejumlah perjanjian serta menunda membuat dan mengisi regulasi,” katanya.
Pemerintah Aceh, katanya, menginginkan agar pusat terutama sejumlah Kementerian terkait dapat menghargai keikhlasan masyarakat Aceh dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ketika itu memilih jalan damai menyelesaikan konflik bersenjata di provinsi ini.
“Kami berharap ke depan jangan sampai ada lagi komponen pemerintah yang merusak damai karena berpura-pura tidak paham atau ingin menghilangkan spirit UUPA dalam berbagai RPP tentang Aceh,” katanya.
Wakil Ketua DPRA Amir Helmi, menilai Pemerintah Pusat terkesan tidak komit dan ikhlas memberikan status Sabang sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas di ujung paling barat Indonesia itu.
“Tidak komitmennya Kemenkeu terhadap materi kepabeanan yang terdapat dalam RPP Sabang yang telah disepakati sebelumnya oleh pejabat lama, kemudian dianulir oleh pejabat baru, membuktikan pemerintah pusat tidak komit dan tak ikhlas memberikan Sabang berstatus daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas,” katanya.
Amir Helmi mengatakan, pengembalian status Sabang sebagai zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui UU Nomor 37 tahun 2000 itu merupakan salah satu dari sembilan keputusan politik dan janji yang disepakati Pemerintah Pusat untuk Aceh guna menyelesaikan konflik. Status Sabang sebagai zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas juga dijelaskan dalam UUPA itu.
“Dua UU telah lahir untuk memperkuat status Sabang sebagai zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, tapi setelah 10 tahun UU tersebut namun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)-nya belum juga diterbitkan,” kata politisi Partai Demokrat itu.
Oleh karena itu, Amir Helmi menyatakan lima tahun MoU Helsinki diharapkan menjadi momentum semua pihak mewujudkan janji untuk mendorong percepatan pembangunan dan perekonomian Aceh dalam bingkai NKRI. (...)
Jutaan warga menyambut suka cita, karena anak bangsa mulai membenamkan nafsu serta berupaya bangkit bersama-sama untuk membangun “negeri” yang hancur akibat perang dan bencana alam, di bawah panji-panji Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Aceh kembali ke pangkuan ibu pertiwi, NKRI” setelah putra-putra terbaik bangsa melapangkan dadanya untuk duduk satu meja, menghilangkan perbedaan dan membicarakan masa depan yang terbaik bagi Aceh dan nusantara ini di Helsinki, Finlandia.
Peristiwa bersejarah itu tanpa terasa telah lima tahun berlalu. Aceh sedang bangkit, bangunan di daerah pesisir yang sebelumnya hancur dan rata dengan tanah diterjang tsunami 26 Desember 2004 kini telah berganti dengan bangunan permanen.
Namun, lima tahun perdamaian pascakonflik dan bencana tsunami masih ada pihak yang mengkhawatirkan situasi Aceh akan ternoda jika pemerintah tidak berupaya meningkatkan kesejahteraan seperti yang diharapkan masyarakat di provinsi itu.
Anggota Komisi III DPR M Nasir Djamil menilai proses perdamaian Aceh pascapenandatanganan MoU Helsinki itu bisa ternoda jika pembangunan perekonomian di provinsi itu berjalan lamban.
“Kalau pembangunan perekonomian melambat, maka saya khawatir tingkat kriminalitas di Aceh akan sejajar dengan daerah lain dan kondisi itu tentunya dapat menodai atau mengGanggu proses perdamaian di wilayah ini,” katanya.
MoU Helsinki ditandatangani Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai komitmen bersama mengakhiri konflik bersenjata puluhan tahun di provinsi itu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berpendapat untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian maka Pemerintah Aceh tidak hanya mengandalkan sumber pendanaan dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Aceh (APBA) semata.
“Karena pergerakan ekonomi itu tidak hanya bisa mengandalkan APBA semata, tapi harus Pemerintah Aceh harus terus mendorong sektor ril dan investasi swasta. Tapi, kenyataannya saat ini keterlibatan swasta hanya sebatas MoU, sedangkan realisasi dan implementasinya di lapangan sangat kecil,” katanya menambahkan.
Selain itu, ia menilai tata pemerintahan duet Irwandi-Muhammad Nazar (gubernur/wakil gubernur) juga tidak fokus, sehingga berpengaruh pada lambannya pertumbuhan perekonomian di provinsi ujung paling barat Indonesia tersebut.
“Sebab perdamaian itu hanya sebagai ‘pintu masuk’ untuk mengelola pembangunan Aceh tanpa konflik,” katanya menjelaskan.
Akan tetapi, ujarnya, tingkat kemiskinan di Aceh saat ini tidak mengalami penurunan seperti diharapkan dalam beberapa tahun terakhir. M Nasir Djamil yang juga Ketua tim Forum bersama (Forbes) anggota DPR-DPD asal Aceh itu mengharapkan lima tahun penandatanganan MoU Helsinki dapat dijadikan sebagai momentum Pemerintah Aceh untuk mengevaluasi kebijakan agar ke depan lebih fokus dan baik bagi kepentingan percepatan kemajuan Aceh.
Jangan ulangi kesalahan
Wakil gubernur (Wagub) Aceh Muhammad Nazar berharap Jakarta tidak mengulangi kesalahan masa lalu dalam menanggani masalah Aceh pascakonflik bersenjata setelah penandatanganan MoU antara Pemerintah dengan pihak GAM.
“Konflik dahulu penyebabnya karena masyarakat Aceh tidak mau dibohongi dan dimarginalkan. Perlawanan bersenjata di Aceh muncul setelah gagalnya penanganan pascakonflik Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII),” katanya.
Karena itu pusat harus belajar dari masa lalu dalam menangani dan mengurus Aceh. “Tidak boleh main main karena dapat merangsang masyarakat di Aceh berpikir tidak baik terhadap pusat sebagai akibat prilaku di berbagai kementerian dan lembaga negara terhadap Aceh,” katanya menambahkan.
Saat ini, Wagub menyatakan bahwa masyarakat bersama-sama Pemerintah Aceh, TNI dan Polri serta mantan anggota GAM dan aktivis sipil lainnya sedang berupaya membangun rekonsiliasi menyeluruh antara sesama masyarakat lokal dan daerah dengan pusat.
“Tetapi nampaknya masih ada komponen pemerintah di Jakarta yang tidak mengerti dengan kebutuhan Aceh sesuai Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA),” katanya menjelaskan.
Seharusnya, Muhammad Nazar menyatakan, seorang menteri atau para menteri kabinet bisa mengerti dan memahami bahwa UUPA itu adalah UU RI tentang Aceh, dan diakui secara nasional serta harus dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
“Sepertinya di Jakarta masih ada yang tidak mau belajar dari kegagalan perjanjian Lamteh dalam penyelesaian konflik DI TII. Akhirnya perdamaian semu karena waktu itu pusat suka mengingkari sejumlah perjanjian serta menunda membuat dan mengisi regulasi,” katanya.
Pemerintah Aceh, katanya, menginginkan agar pusat terutama sejumlah Kementerian terkait dapat menghargai keikhlasan masyarakat Aceh dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ketika itu memilih jalan damai menyelesaikan konflik bersenjata di provinsi ini.
“Kami berharap ke depan jangan sampai ada lagi komponen pemerintah yang merusak damai karena berpura-pura tidak paham atau ingin menghilangkan spirit UUPA dalam berbagai RPP tentang Aceh,” katanya.
Wakil Ketua DPRA Amir Helmi, menilai Pemerintah Pusat terkesan tidak komit dan ikhlas memberikan status Sabang sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas di ujung paling barat Indonesia itu.
“Tidak komitmennya Kemenkeu terhadap materi kepabeanan yang terdapat dalam RPP Sabang yang telah disepakati sebelumnya oleh pejabat lama, kemudian dianulir oleh pejabat baru, membuktikan pemerintah pusat tidak komit dan tak ikhlas memberikan Sabang berstatus daerah perdagangan bebas dan pelabuhan bebas,” katanya.
Amir Helmi mengatakan, pengembalian status Sabang sebagai zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas melalui UU Nomor 37 tahun 2000 itu merupakan salah satu dari sembilan keputusan politik dan janji yang disepakati Pemerintah Pusat untuk Aceh guna menyelesaikan konflik. Status Sabang sebagai zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas juga dijelaskan dalam UUPA itu.
“Dua UU telah lahir untuk memperkuat status Sabang sebagai zona perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, tapi setelah 10 tahun UU tersebut namun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)-nya belum juga diterbitkan,” kata politisi Partai Demokrat itu.
Oleh karena itu, Amir Helmi menyatakan lima tahun MoU Helsinki diharapkan menjadi momentum semua pihak mewujudkan janji untuk mendorong percepatan pembangunan dan perekonomian Aceh dalam bingkai NKRI. (...)