Midwestern, wilayah bagian Amerika Serikat, pernah menjadi tempat paling
trendi di utara Meksiko. Pada tahun 1250, pemukiman Cahokia, yang
terletak tepat di seberang Sungai Mississippi dari kehidupan modern St.
Louis, Missouri, memiliki populasi lebih besar daripada penduduk London.
Tetapi dalam 100 tahun, distrik itu ditinggalkan dan belum ada satu
pun ahli yang mengetahui penyebabnya. Namun kini, para arkeolog menempuh
cara lain untuk mengungkap misteri lama ini, yakni meneliti jejak-jejak
kotoran manusia.
Molekul feses kuno membantu para ilmuwan memahami bagaimana perubahan
iklim pada waktu itu mungkin menjadi salah satu penyebab terbesar
punahnya peradaban di Cahokia.
Tahun lalu, sebuah tim ahli iklim dan arkeolog menganalisis endapan
dari dasar Danau Horseshoe di Illinois barat, tempat di mana Cahokia
berada.
Dengan membandingkan jumlah molekul tinja yang ada di setiap lapisan
sedimen menggunakan indikator lingkungan yang menandakan kekeringan dan
banjir, para ilmuwan dapat memahami dengan lebih baik tentang peradaban
kuno yang berubah karena iklim seperti periode kekeringan dan banjir.
Kemudian menyebabkan orang-orang berpindah ke tempat yang lebih
tinggi di daerah tersebut, atau meninggalkan Cahokia selamanya. Temuan
mereka dipublikasikan di jurnal Prosiding National Academy of Sciences
pada Kamis, 28 Februari 2019.
Ilmu iklim dan arkeologi secara historis telah dilakukan secara
terpisah satu sama lain. Korelasi antara peristiwa alam dan populasi
manusia pada waktu itu, pun telah ditarik dengan membandingkan dua
kumpulan data dari wilayah yang sama, tetapi lokasinya berbeda.
Sebagai contoh, para peneliti memperoleh data iklim dari sampel
danau, tetapi data populasi dari artefak didapatkan di lahan kering.
Dalam hal ini, para ilmuwan dari kedua disiplin ilmu mendapatkan
informasi masing-masing dari sampel yang sama, yang merupakan hal baru
dan vital, dalam hal ini, untuk menarik korelasi yang benar antara
manusia dan perubahan lingkungan.
"Studi tentang Cahokia sebelumnya menyebutkan adanya penurunan
populasi berdasarkan sisa-sisa arkeologis, seperti lubang pasak dan kayu
yang terbakar, tetapi data iklim didasarkan pada pepohonan dan dasar
danau yang tidak terkait dengan sisa-sisa arkeologi," kata Lora Stevens,
seorang paleoklimatologis di California State University, Long Beach,
dan co-author penelitian ini.
"Baik tanggal yang terkait dengan data arkeologis dan data iklim,
masih belum bisa dipastikan, yang mengurangi kepercayaan diri kita
ketika kita mencocokkan catatan ini bersama-sama. Catatan kami, mulai
dari banjir, kekeringan, hingga penurunan populasi, semuanya berasal
dari dasar danau yang sama. Jadi kami tahu hubungan yang tepat antara
penurunan populasi dan tekanan lingkungan ini," lanjutnya, sebagaimana
dikutip dari Popular Science, Sabtu (2/3).
Para ahli iklim telah lama memanfaatkan dasar danau untuk mempelajari
peristiwa lingkungan. Stevens dan AJ White, yang memimpin penelitian
ini sebagai mahasiswa pascasarjana di California State University Long
Beach dan merupakan co-author riset ini, memeriksa endapan dari danau
yang mengungkapkan tingkat kepenuhan air dalam beragam waktu.
Ini membantu para peneliti menentukan keberadaan musim kering yang
diikuti oleh banjir. Pada saat yang sama, para arkeolog melihat jumlah
molekul tinja yang memfosil dalam sampel yang sama: semakin banyak tinja
dalam sedimen, berarti lebih banyak orang yang tinggal di sana pada
saat itu.
Kian banyak orang yang hidup dan buang air besar di sekitar danau,
maka kian banyak pula tinja yang mengalir ke dalam air. Kemungkinan
besar, molekul kotoran manusia itu akan terlihat jelas di lapisan
sedimen danau yang terbentuk selama bertahun-tahun, sewaktu populasi
Cahokia berada pada titik terbesarnya.
Melihat kedua catatan itu bersama-sama (lapisan endapan dan molekul
tinja), para ilmuwan menyimpulkan bahwa curah hujan musim panas menurun
sekitar waktu yang sama ketika populasi Cahokia mulai menyusut.
"Salah satu alasan mengapa penduduk Cahokia sangat terpengaruh adalah
karena mereka sangat bergantung pada jagung. Ketika masyarakat menjadi
terspesialisasi, ini membuat mereka lebih rentan," Stevens menuturkan.
Karena Mississippians, orang-orang yang tinggal di Cahokia, sangat
bergantung pada jagung, maka kekeringan yang melanda selama
bertahun-tahun mungkin telah mendorong mereka untuk bermigrasi dari
daerah Cahokia ke suatu daerah di mana mereka bisa menanam lebih banyak
tanaman untuk dimakan.
"Di zaman kuno, ada tempat-tempat lain yang lebih kaya akan sumber
daya alam dan bisa ditinggali oleh manusia," menurut Sissel Schroeder,
seorang antropolog di University of Wisconsin-Madison dan co-author
penelitian ini.
"Di dunia modern, kita mengalami tekanan yang sama, tetapi menjadi
semakin sulit untuk menemukan daerah yang kaya sumber daya yang belum
ditempati oleh manusia sebelumnya," sambungnya.