Sudah
lewat 13 tahun lalu, tepatnya 26 Desember 2003, Hasmi membuka pameran koleksi
ilustrasi komik karya Wid NS, seorang komikus dari Yogyakarta, di Tembi Rumah
Budaya. Pameran dibuka malam hari, tapi siang sebelum pembukaan Wid NS
meninggal, sehingga tidak sempat menghadiri pembukaan pameran karyanya. Hasmi
sebagai sahabat Karib Wid NS, tak kuasa menahan tangis dan kata-katanya
teputus-putus saat membuka pameran.
Minggu
siang, 6 Nopember 2016, pukul 12.00 Hasmi, salah seorang komikus dari
Yogyakarta, meninggal dunia. Hasmi dan Wid NS, dua komikus dari Yogyakarta
menciptakan tokoh legendaris. Hasmi menciptakan tokoh, yang dikenal sampai
sekarang ‘Gundala Putra Petir’ dan Wid NS menciptakaan tokoh ‘Godam’.
Dunia
imajinasi, oleh Hasmi dan Wid NS, pada awal tahun 1970-an telah dihadirkan
melalui komik. Pada masa itu, komik menjadi bacaan tidak hanya anak-anak,
tetapi juga dari kalangan dewasa dan orang tua. Hasmi dan Wid NS adalah dua
komikus dari Yogyakarta yang cukup dikenal.
Nama
populernya memang Hasmi, namun sering dipanggil Nemo, sedangkan nama
sesungguhnya Emanuel Harya Suraminata, lahir di Yogyakarta 25 Desember 1946.
Meskipun komik tidak lagi booming seperti tahun 1970-an, tapi Hasmi tidak
berhenti berkarya. Dia masih terus menghasilkan karya komik, yang dikerjakan
secara manual. Hasmi menggambar dengan menggunakan pensil (warna) tidak
menggunakan peralatan komputer.
Karya
komiknya, Gundala Putra Petir, pernah difilmkan, dan juga dipentaskan oleh
teater Gandrik dengan judul yang sama, dan Hasmi ikut main dalam pementasan
teater Gandirk tersebut.
Ketika
Hasmi masih dirawat di rumah sakit, sejumlah sahabatnya menjenguk, di antaranya
Butet Kartaredjasa. Kepada Butet Hasmi menulis pesan, karena dalam kondisi
sakit tidak bisa berbicara, pesannya ditulis , yang kemudian oleh Butet
di-upload di akun Facebook-nya. Berikut kutipan satus Butet tersebut: Hasmi
digendong Butet. Foto: Facebook Butet
“Kesaksian
Ageng Tak Sempat Dikisahkan. Jumat lalu, 4 Nov, saya menengok Mas Nemo yang
tidak berdaya di RS Bethesda. Sudah 9 hari dia tak makan minum, hidupnya
tergantung cairan infus yang dialirkan ke tubuhnya. Bahkan untuk bicara pun dia
tak berdaya. Kalau “bicara” dengan tulisan, langsung saya candain,
“Wueleeeh….malah koyo jailangkung.” Mas Hasmi tersenyum. Itu pun tidak berdaya.
Bersama saya ada seorang pendeta. Juga Jadug Ferianto.
Ketika
kami mau pulang, mas Hasmi ingin “bicara” secara tertulis. Semampunya dia
menulis “Mbenjang menawi kula gesang badhe caos kesaksian ageng”. Artinya,
“Besok kalau saya hidup, saya akan memberikan kesaksian besar.” Rupanya itulah
dialog terakhir kami. Kesaksian yang dalam iman yg diyakininya merupakan
pernyataan tentang peristiwa penting bertalian dengan spiritualitasnya,
ternyata tak sempat dikisahkan. Atau jangan-jangan itulah pamitannya kepada
kami”.
Senin
siang, 6 November 2016, Hasmi dimakamkan di Makam Seniman dan Budayawan di
Imogiri. Sejumlah seniman dan sahabat Hasmi seperti Butet Kartaredjasa, Landung
Simatupang, Untung Basuki, Indra Tranggono, Ong Hari Wahyu, Bambang Paningron
dan nama-nama lainnya, termasuk Yani Saptohudaya hadir mengantarkan kepergian
Hasmi di tempat peristirahatan terakhir.
Selamat
jalan Hasmi, Gundala Putra Petir karyamu, tidak akan mati. Ia akan terus ada di
hati penggemar komik. (tembi.net).