''Hampir bisa dipastikan, di Indonesia, Rhoma Irama penghibur paling jempol. Sejak rapat-rapat raksasa di masa Demokrasi Terpimpin, acara panggung yang paling banyak dibanjiri massa adalah panggung Rhoma,'' kata William H. Frederick, doktor sosiologi Universitas Ohio, AS, yang pernah mengadakan penelitian tentang Rhoma Irama.
Frederick, agaknya, tidak berlebihan. Beberapa media massa Indonesia sudah melaporkan, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka, lantaran terlalu berdesakan -- hal yang sebenarnya sangat disesali Rhoma sendiri. ''Untuk mendapatkan hiburan, kenapa mesti sampai jatuh korban begitu?'' katanya.
Berdasarkan data penjualan kaset, dan jumlah penonton film- film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tidak kurang dari 15 juta -- 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan 1984. ''Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas,'' tulis majalah TEMPO, 30 Juni 1984. Sementara itu, Rhoma sendiri bilang, ''Saya takut publikasi. Ternyata, saya sudah terseret jauh.''
Orang menyebut musik Rhoma ''dangdut'', suatu sebutan yang tidak disukai Rhoma. ''Istilah itu diberikan oleh mereka yang tak suka,'' katanya. Ia berkeras menyebut musiknya sebagai irama Melayu. Dalam kenyataannya, musiknya tidak Melayu benar: sudah ada ''revolusi'' di dalamnya, yaitu masuknya unsur rock. Dan menurut Achmad Albar, penyanyi rock tersohor, ''Rhoma pionir. Pintar mengawinkan orkes Melayu dengan rock.''
Rhoma juga sukses di dunia film, setidaknya secara komersial. Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum sebuah film selesai diproses, orang sudah membelinya. Satria Bergitar, misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta.Tetapi, ''Rhoma tidak pernah makan dari uang film. Ia hidup dari uang kaset,'' kata Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film. Hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung. Pada 1983, Rhoma membayar zakat Rp 6 juta.
Untuk meraih prestasi dan kekayaan seperti itu, Rhoma sempat melewati masa-masa sangat pahit. Antara lain menjadi gelandangan dan pengamen jalanan di Solo -- berlangsung sejak ia lepas SMA (1964) sampai menjelang peristiwa G-30-S PKI. Di kota itu ia ditemani Benny, kakaknya, dan Haris, kawannya. Mereka bertiga pada mulanya hendak ke Jombang, Jawa Timur, dalam rangka menuruti Rhoma yang hendak memperdalam pelajaran agama Islam di Pesantren Tebuireng. Tetapi, lantaran kehabisan biaya, mereka lantas terdampar di Solo. Dan mengamen. ''Ketika menerima uang hasil ngamen, kami terharu setelah Oma berkata, ini profesi kita sekarang,'' tutur Haris di kemudian hari, di saat sudah menjadi staf Rhoma Film. Oma adalah panggilan akrab Rhoma sejak kecil sampai sebelum jadi haji, 1975. Selama di Solo itu, mereka bertiga menumpang pada gubuk di pinggir Bengawan Solo milik seorang lelaki bertato bernama Gito.
Ayah Rhoma adalah Raden Burda Anggawirya, seorang bekas perwira ABRI. Rhoma lahir ketika sang ayah baru pulang nonton sandiwara Sunda yang dimainkan grup kecintaannya, Irama Baru. Maka, bayi itu diberinya nama Irama -- belakangan menjadi Oma Irama dan Rhoma Irama. Bakat Rhoma sendiri sudah kelihatan sejak masih di SD di Tasikmalaya. Pernah satu kelas tiba-tiba kosong, karena muridnya pergi ke kelas lain. Menonton Oma Irama mendendangkan lagu dengan gaya memikat, kepalanya bergoyang- goyang dan matanya terpejam-pejam.
Rhoma dua kali menikah. Pertama dengan Veronica, melahirkan tiga anak -- lantas bercerai, ketika kemudian Rhoma menikahi Ricca Rachim.
Frederick, agaknya, tidak berlebihan. Beberapa media massa Indonesia sudah melaporkan, penonton pertunjukan Rhoma di berbagai daerah ada yang jatuh pingsan atau celaka, lantaran terlalu berdesakan -- hal yang sebenarnya sangat disesali Rhoma sendiri. ''Untuk mendapatkan hiburan, kenapa mesti sampai jatuh korban begitu?'' katanya.
Berdasarkan data penjualan kaset, dan jumlah penonton film- film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tidak kurang dari 15 juta -- 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan 1984. ''Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas,'' tulis majalah TEMPO, 30 Juni 1984. Sementara itu, Rhoma sendiri bilang, ''Saya takut publikasi. Ternyata, saya sudah terseret jauh.''
Orang menyebut musik Rhoma ''dangdut'', suatu sebutan yang tidak disukai Rhoma. ''Istilah itu diberikan oleh mereka yang tak suka,'' katanya. Ia berkeras menyebut musiknya sebagai irama Melayu. Dalam kenyataannya, musiknya tidak Melayu benar: sudah ada ''revolusi'' di dalamnya, yaitu masuknya unsur rock. Dan menurut Achmad Albar, penyanyi rock tersohor, ''Rhoma pionir. Pintar mengawinkan orkes Melayu dengan rock.''
Rhoma juga sukses di dunia film, setidaknya secara komersial. Data PT Perfin menyebutkan, hampir semua film Rhoma selalu laku. Bahkan sebelum sebuah film selesai diproses, orang sudah membelinya. Satria Bergitar, misalnya. Film yang dibuat dengan biaya Rp 750 juta ini, ketika belum rampung sudah memperoleh pialang Rp 400 juta.Tetapi, ''Rhoma tidak pernah makan dari uang film. Ia hidup dari uang kaset,'' kata Benny Muharam, kakak Rhoma, yang jadi produser PT Rhoma Film. Hasil film disumbangkan untuk, antara lain, masjid, yatim piatu, kegiatan remaja, dan perbaikan kampung. Pada 1983, Rhoma membayar zakat Rp 6 juta.
Untuk meraih prestasi dan kekayaan seperti itu, Rhoma sempat melewati masa-masa sangat pahit. Antara lain menjadi gelandangan dan pengamen jalanan di Solo -- berlangsung sejak ia lepas SMA (1964) sampai menjelang peristiwa G-30-S PKI. Di kota itu ia ditemani Benny, kakaknya, dan Haris, kawannya. Mereka bertiga pada mulanya hendak ke Jombang, Jawa Timur, dalam rangka menuruti Rhoma yang hendak memperdalam pelajaran agama Islam di Pesantren Tebuireng. Tetapi, lantaran kehabisan biaya, mereka lantas terdampar di Solo. Dan mengamen. ''Ketika menerima uang hasil ngamen, kami terharu setelah Oma berkata, ini profesi kita sekarang,'' tutur Haris di kemudian hari, di saat sudah menjadi staf Rhoma Film. Oma adalah panggilan akrab Rhoma sejak kecil sampai sebelum jadi haji, 1975. Selama di Solo itu, mereka bertiga menumpang pada gubuk di pinggir Bengawan Solo milik seorang lelaki bertato bernama Gito.
Ayah Rhoma adalah Raden Burda Anggawirya, seorang bekas perwira ABRI. Rhoma lahir ketika sang ayah baru pulang nonton sandiwara Sunda yang dimainkan grup kecintaannya, Irama Baru. Maka, bayi itu diberinya nama Irama -- belakangan menjadi Oma Irama dan Rhoma Irama. Bakat Rhoma sendiri sudah kelihatan sejak masih di SD di Tasikmalaya. Pernah satu kelas tiba-tiba kosong, karena muridnya pergi ke kelas lain. Menonton Oma Irama mendendangkan lagu dengan gaya memikat, kepalanya bergoyang- goyang dan matanya terpejam-pejam.
Rhoma dua kali menikah. Pertama dengan Veronica, melahirkan tiga anak -- lantas bercerai, ketika kemudian Rhoma menikahi Ricca Rachim.